Day 3,
Monday

Tidak seperti biasanya, sepulang sekolah Rafki tidak langsung pulang ke rumahnya. Melainkan dia langsung cabut pergi ke taman tempat dirinya dan Rika bertemu hari minggu kemarin. Sesampainya disana, Rafki berjalan sambil tengok kanan-kiri mencari Rika. Setelah agak lama mencari, dia melihat Rika duduk dibawah pohon sedang menikmati angina yang berhembus pelan. Tiga mawar putih dan topi yang sering dipakainya untuk pergi berjualan berada disampingnya. Rafki mengendap-endap mendekati Rika dan memegang pundaknya. Spontan Rika terkejut setengah mati. Dia menengok kearah belakan dan mendapati Rafki sedang tersenyum kepadanya. Rika membuang napas pelan.
“Kaget ya?”
Raki duduk disamping Rika.
“Huh. Aku kira siapa. Tentu saja aku kaget.”
Rika memandang Rafki dari ujung kepala sampai ujung kaki. Yang dilihat menjadi salting alias ‘salah tingkah’
“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanya Rafki akhinya. Tidak tahan karena dilihat penuh keseriusan seperti itu.
“Habis pulang sekolah langsung kesini ya?”
Rafki mengangguk.
“Kamu sendiri tidak sekolah.”
Rika mendongak. Menatap langit biru yang cerah.
“Tidak. Aku belum pernah bilang kepadamu ya? Aku sudah putus sekolah sejak SMP.”
“Eh? Begitukah?”
Rika tersenyum. Dia memutar kepalanya menghadap Rafki.
“Tapi…itu tidak masalah buatku. Meski aku sudah putus sekolah, aku sekarang mengajar sekumpulang anak. Aku senang mengajar mereka. Mereka yang tidak beruntung sepertiku. Aku bersyukur sekali karena aku masih bisa merasakan bangku sekolah meskipun hanya sembilan tahun…”
Rika mendesah. Lalu melajutkan ceritanya.
“…Itu sudah cukup bagiku. Sebelum aku mati, aku akan memberikan apa yang terbaik bagi mereka semua.” Kata Rika bersemangat. Rafki hanya tersenyum (lagi). Kemudian dia tersadar ada sesuatu ganjal yang telah dikatakan oleh Rika tadi.
“Sebelum aku…mati? Apa maksudnya?” Tanya Rafki. Rika ikut tersadar. Dia telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dia katakan.
“Eh, ti..tidak. aku…ah, gawat!” Rika menepuk dahinya sendiri. Rafki mengangkat kedua alisnya.
“Ada apa?”
“Sekarang waktunya aku mengajar. Aku lupa! Kalau baegitu, aku pulang du…”
Sebelum Rika beranjak Rafki telah memegang tangannya duluan.
“Aku ikut!”
“Eh? Ta..ta..tapi…”
Rika melihat raut wajah Rafki yang memelas. Dia pun tersenyum, mengalah.
“Iya,iya. Tapi jangan menyesal ya.”
Rafki mengangguk. Rika mengambil topi dan tiga mawar itu kemudian mereka berjalan meninggalkan taman.
***
Mereka berdua sampai disebuah perkampungan pinggiran rel kereta api. Rafki terkejut (sangat) melihatnya.
“Tidak suka ya?” tegur Rika.
Rafki menatap Rika sejenak, lalu melihat sekeliling. Sebenarnya Rafki lumayan suka dengan tempat ini. Tempat orang yang tidak sama dengan kehidupannya. Dis sangat suka dengan keramaian, seperti sekarang ini.
Rafki menggeleng.
“Karena aku sangat suka keramaian, jadi aku suka dengan tempat ini. Dimana tempatmu mengajar?”
“Sudah dekat kok. Ayo!”
Hanya melewati tiga deret rumah saja, mereka sampai disebuah rumah yang sederhana sekali. Hanya beralaskan tikar, dinding dari anyaman bambu, dan perlengkapan untuk mengajar sepeti papan tulis hitam, kapurnya, dan penghapus. Beberapa anak kecil sudah duduk manis layaknya seorang murid yang sudah siap berhadapan dengan pelajaran hari ini. Rika masuk kedalam sedangkan Rafki menunggu diambang pintu.
“Selamat siang anak-anak.” Kata Rika ramah.
“Selamat siang buuuu……” Jawab mereka bersemangat.
Rafki hanya memperhatikan Rika dan anak-anak itu. Dia kagum pada sikap Rika yang ramah, lembut, dna tegas. Serta penyabar. Didalam hari Rafki bertanya-tanya, apa benar pemerintah Indonesia sudah menuntaskan kemiskinan? Cerita bohong saja. Itu hanya sebuah kata-kata dan janji-janji palsu saja. Buktinya masih ada anak-anak yang telantar seperti yang dia lihat sekarang ini. Jumlah penduduk miskin pun dari tahun ke tahun terus meningkat.
Rafki terus memperhatikan Rika dan dia tersadar jika Rika sangat pucat. Rafki masuk kedalam, memastikan apa yang dilihatnya benar atau tidak. Rafki menghentikan tangan Rika yang sedang menulis. Rika memalingkan wajahnya.
“Raf, apa yang kamu…”
“Istirahatlah dulu. Aku tahu kamu belum makan seharian. Dan…”
Rafki melepas ranselnya, mengambil kotak bekalnya dan air mineral. Lalu menyerahkannya kepada Rika.
“Ini bekal rotiku. Karena aku sudah kenyang, jadi aku tidak makan ini. Meskipun hanya sedikit, ini dapat mengisi perutmu yang kosong.”
“Tapi…”
“Soal ini biar aku yang mengurus mereka. Kamu makanlah dulu. Ini untukmu.”
Rafki menyodorkan air dan kotak bekalnya.
“Baiklah. Dan, terimakasih.”
Rika menerimanya. Kemudian dia berjalan keluar.
“Adik-adik, sekarang kakak akan menggantikan bu Rika. Nah, sekarang ayo kita lanjutkan pelajarannya.”
Anak-anak itu hanya me-O. Kemudian menjawab,
“Baik kaaaaak….”
***

Langit bewarna kuning keemasan. Burung burung berkaok-kaok hendak pulang, begitu juga matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Rika dan Rafki berjalan menyusuri rel kereta api.
“Raf, terimakasih untuk hari ini. Ini kotak makan dan bekalmu.”
Rafki menerimanya dan meletakkannya kedalam tas.
“Maaf, semuanya sudah habis.”
Rafki berdiri dihadapan Rika. Kemudian dia mengacak-acak rambut Rika, dan memegang kedua pipinya.
“Kamu ini lucu sekali. Habiskan saja juga tidak apa. Kita kan harus saling membantu. Karena kita adalah teman.”
Rika menjadi tersipu. Lalu mengangguk.
“Iya.”
Rafi mendongak.
“Aku harus pulang. Sudah sore, besok kita bertemu di taman lagi kan?”
Rika mengangguk lagi. Rafki tersenyum. Kemudian dia melangkah pergi. Rika memandang Rafki sampai dia hilang ditikungan. Rika mendongak menatap langit jingga itu. Angin berhembus mengibarkan rambut panjangnya yang teruarai. Kemudian dia mengangkat tangan kanannya, meletakkan didada kirinya, merasakan detak jantungnya.
“Ada apa denganku? Kenapa aku berdebar-debar?”
***
Copyright 2009 愛story. All rights reserved.
Sponsored by: Website Templates | Premium Wordpress Themes | consumer products. Distributed by: blogger template.
Bloggerized by Miss Dothy